Hujan


Kala itu, aku sedang berkeluh kesah mengenai sebuah masa ketika semua orang bisa berpikir matang. Tatapanku, terpaku pada sebuah buku yang kutulis. Kutumpahkan semua yang kurasakan dalam bentuk catatan disana. 

Ekhem, ada coretan mungil dibalik halaman yang kutulis itu dan aku tersenyum melihatnya. Tulisannya memang jelek, aku mengerti hal itu ketika mengingat baru belajar menulis saat umurku 6 tahun. Tulisan 

Si Cantik, ya aku memanggil nya begitu. Kuhiraukan semua pekerjaan dan mulai berdiam menatap jendela yang menghadap ke arah lautan. Petir yang menyambar. Ombak yang menderu. Angin yang berhembus. 

Hujan yang merintik. 

Memang, mereka hanya ada di luar jendela, tetapi aku bisa merasakannya. Ya, memang aneh bukan?

Aku teringat ketika Si Cantik bercerita…. 

Ah sudahlah tidak perlu berbohong, aku teringat ketika istriku bercerita. 

Ia sedang duduk di ayunan depan rumah, mereka bergandengan tangan. Dua wanita yang berharga dalam hidupku. 

Istriku bertanya, “Dimana lelakinya?” dan ia hanya menjawab “Ma, tentu saja dia sedang sibuk di kantornya.”

Itulah aku. Aku yang terlalu berambisi untuk menyelesaikan semua pekerjaanku di kantor. Sehingga aku mengira “Si Cantik baik-baik saja ketika aku sedang bekerja. Lagipula, aku menafkahinya. Itu tidak salah bukan?”

Aku memangku kepalaku. Semakin pusing ketika aku mengingatnya.

Si Cantik berbicara padaku, “Ayah, ayo kita pergi ke tempat liburan yah, aku pengen liburan bersama ayah.”

Aku menurutinya. Dan. yaa, Disneyland memang indah untuk dijadikan objek wisata keluarga. Menjumpai berbagai macam tokoh kartun, dan lihat, Mickey Mouse yang diidolakannya. Ia tersenyum senang, aku ikut senang.

Ketika sampai di hotel, istriku menangis keras. Kala itu, memang hujan. Petir mengeluarkan suaranya. Hingga akhirnya menghantam keras didekat jendela hotel.

Rasanya aneh ketika secara tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Tersenyum ketika melihat Si Cantik tidur disebelahku. Aku menggapai tangan kecilnya,, tetapi ia malah membelakangiku. Aku merogoh piyamanya, agar aku bisa memeluk tubuhnya. Membayangkan bahwa kasih sayangku kepadanya tidak harus selalu terlihat olehnya. Tetapi, semua itu menembus, aku tersadar bahwa yang kupeluk adalah sebuah guling. 

Istriku tersenyum menatapku. Ia berkata, “Udalah, Mas. Mas enggak usah mikirin dia lagi. Semua terlambat.”

Aku membalas dengan ego-ku. “Enggak, aku lagi enggak mikirin dia.”

“Oh, begitukah? Lalu nama Gadis 6 tahun mana yang mas sebut?” Tambah istriku,

Aku terdiam. Lupa, bahwa mengigau adalah salah satu gangguan tidurku.

“Apakah Mas baru sadar bahwa mas lebih mementingkan urusan pekerjaan yang ga ada habisnya daripada keluarga sendiri?” Tukas istriku,

Perkataan tersebut tidak membuat hatiku sakit. Memang aku selalu sakit ketika dia sudah tidak ada. Ucapan tersebut justru membuatku semakin sadar.

“Sudahlah mas, dia mungkin tidak berhak mendapatkan ‘Disneyland’ disini. Dia udah disana, bahagia. Tanpa memikirkan seseorang yang sibuk dengan pekerjaannya.”

Lagi-lagi aku terdiam. Tidak membalas sepeser katapun. Semuanya membuatku semakin sesak.

“Hujan memang tidak selalu ia rasakan di luar rumah mas. Tetapi semakin bergemuruhlah hatinya ketika mas selalu menolak permintaannya. Mas selalu berkata padanya ‘habis papa kerja yah sayang’ tanpa membuktikan perkataan tersebut dan pergi berbulan-bulan.” Tangis air mata istriku. Ia mengeluarkan keluh kesahnya.

Di saat malam belum menjelang, aku mengunjungi tempat yang bersejarah bagi keluarga ku. Maaf, hanya kali ini bagi ku.

Aku mendongak ke atas. Awan hitam bergemuruh hebat. Rintik demi rintik membasahi tanah dan batu nisan.

Tanganku mendingin. Dan, ya. Hujan memang mengubahku. Ia datang ketika aku mendapatkannya, mengecewakannya, dan melihat nisannya.

Komentar