Sepasang Sepatu


Kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu. -Tulus-

Aku dan Rena adalah sepasang sahabat. Namaku Riko. Aku sudah bersama dengan Rena sejak jalan masih merangkak. 

Bapakku dan ayahnya Rena memang membuat bisnis bareng, tapi sekarang bapakku telah tiada. Jadi, sejak itu Rena sering mengunjungi rumahku. Tidak heran jika kita sering pergi bersama dan menghabiskan waktu berdua dengan bermain musik. 

Kadang, kita suka bertukar pikiran. Ujung-ujungnya memang tidak ada yang mau mengalah. Yang didebatin biasanya memang hal yang tidak penting semacam ‘Ayam atau telur duluan yang muncul?’

Tapi, entah mengapa memang aku dan Rena seperti sepasang sepatu, tetapi berbeda. Bukan, bukan berbeda seperti aku Converse dan dia Nike, tapi yang berbeda talinya tidak pernah terikat. Sudah berkomitmen sejak dahulu kala memang tidak akan menjalin hal itu.

Aku mengingat momen-momen masa kecilnya dengan Rena. Pertanyaan polos yang mungkin akan terdengar aneh di anak seumuran ku mungkin.

“Ren, kalau bumi dan bulan ditakdirkan bersama sejak awal, kita juga nggak ya?” Tanyaku polos berumur 6 tahun. Aku mengingat kata-kata itu saat membaca kumpulan buku gombal di sebuah toko buku. Kutertawakan dan meledek Rena.

“Iiii Rikoo apaan siiih!” Lirih Rena memukulku pelan. Keluarlah suara tertawa menyebalkan dari mulutku.

Aku membayangkan hal itu sebelum masuk ke alam mimpi. Tertawa sedikit ketika memori itu datang tiba-tiba. Tapi entah kenapa aku tersenyum-senyum sendiri untuk membayangkan hal itu. Memang, aku sama sekali tidak percaya jika cowok dan cewek bersahabat akan memiliki rasa. Selama 19 tahun bersahabat tidak pernah merasakan hal itu, hanya beberapa bulan terakhir saja aku mulai memikirkan Rena. Ku pejamkan mata dan berharap semua kembali normal.

Pukul 9 pagi.

Rintik hujan mulai turun membasahi tanah pagi itu.

Udara cukup dingin dan menembus pori-pori kulit.

Karena itu, aku dan Rena mengenakan kaus panjang dan sudah mengotak-atik lirik lagu sedari tadi.

“Ini kayaknya enggak pas deh Ko,” Komplen Rena.

“Jadinya kayak gimana dong, kan lo bilang pengennya melow.” Balas ku.

“Yah, menurut gue sih enggak pas sama bagian nada-nya Rikooo..” Rena menunjuk ke arah kertas liriknya. Lalu diam.

“Yaudah, nanti aja. Efek lo belom kena asupan nasi jadinya ngomel teroos.” Aku meledek. Rena mencubit.

Akhirnya kami memutuskan untuk makan nasi goreng di pinggir jalan untuk sarapan. Ketika piring disajikan, Rena langsung merogoh koceknya.

Rena menatap mataku dalam. Ia mulai berbicara serius, tidak seperti biasanya.

“Jadi, sebenarnya ada poin yang pengen gue sampein ini ke lo. Tapi gue terus kepikiran gimana nasib kita nanti.”

Diam sebentar. Aku tidak menjawab. Memberi arahan bahwa Rena harus menyelesaikan apa yang ia sampaikan.

“Hmm..” Rena mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Pikirannya cukup kacau. Banyak kata-kata yang harus ia cerna sebelum disampaikan.

“Sebenarnya, gue ngerahasiain satu hal ini karena emang enggak mau hubungan persahabatan kita rusak.” Lanjut Rena.

Ketika mendengar perkataan itu, jantungku merasa seperti di ditembak. Mendebar-debarkan peluru keras melalui aliran darahku. Mulai berkeringat dingin. Kurasa, memang aku yang harus menyampaikan hal ini duluan.

“Ren.. Gue..” Kataku gugup. Tanpa menyelesaikan kata-kataku, Rena menutup mulutku dengan tangannya. Dengan nafas panjang, ia berbisik “Besok gue pindah ke Perancis.”

Aku tersedak. Orang-orang tertuju padaku. Lalu Rena mengambilkan ku air minum. Aku sangat kaget mendengarnya dan kutarik lengan bajunya dari keramaian.

“Nggak salah denger Ren?” Tanya ku tidak percaya.

Rena menggeleng.

“Kok lu nggak pernah cerita, Ren?” Ku menahan rasa yang bergejolak.

Rena menatap kebawah, sayu matanya. “Sebenarnya, gue enggak pernah ada hal yang nggak gue ceritain ke lo. Gue pengen bilang ini dari beberapa bulan yang lalu. Cuma..”

“Cuma?”

“Cuma gue nggak pengen bikin lo kepikiran soal ini. Gue masih mikirin mulai ceritanya darimana. Apa yang akan terjadi dengan kita jika nanti sering lost contact? Apa gue bisa menguasai dunia ramai ini bersama lo lagi? Gue nggak mau kehilangan lo sebagai sahabat dan tempat berlalu-lalang kita selama ini. Lo spesial.” Tukas Rena. Matanya berkaca-kaca. Rasanya lega, walaupun berat untuk diucap.

 Aku terdiam.

“Gue tahu rasanya berat.” Tukas Rena. “I feel that too.” Lalu menitikkan air matanya.

Aku menjadi diriku sendiri. Sesuatu yang terpikul mendadak bisa membuatku terdiam tanpa sepatah katapun.

“Iya, gue paham tentang itu. Gue enggak bisa berbuat apa-apa.” Aku memasukkan kedua tangan kedalam saku. “Sampai kapan lo disana?”

“Keluarga gue akan stay disana Rik. Ngikut keluarga nyokap. Mereka nge wajibin gue ikut karena akan melanjutkan pendidikan disana. Mereka juga minta gue untuk stay juga disana.” Balas Rena. “Mungkin sampai seterusnya. Mungkin sampai menikah. Masih banyak ‘Mungkin-mungkin’ yang lain dan enggak bisa gue pastiin.”

Aku menghentikan langkah. “Itu artinya lo bakal lama disana.”

“Ya.” Jawab Rena singkat.

“Gue boleh ngomong sesuatu?” Tanyaku.

Rena mengangguk. Tepat disaat itulah dari sebelah kanan ada laju motor dengan  keadaan cepat dan rem blong. Lagi-lagi, tanpa menyelesaikan kata-kataku, aku mendorong tubuh Rena dengan refleks. Akhirnya, Rena terhempas dan tangan kananku terluka parah terlindas roda motor. Sang pengendara pun terluka berat. Tetapi, mataku hanya tertuju pada Rena. Itu adalah saat-saat terakhir kulihat ia menangisiku dan terakhir kali ku melihatnya sehari sebelum dia pergi ke Perancis.

Jam 6 pagi.

Aku terbangun di keesokan harinya. Dokter berkata bahwa aku harus segera di amputasi. Tidak ada pilihan lain sebelum seluruh tubuhku terinfeksi.Aku menghela nafas dan menerima kenyataan. Sebelum itu, Ibu ku bercerita bahwa Rena yang telah membawaku kerumah sakit menggunakan ambulans. Dia telah menungguku selama beberapa waktu tetapi tidak sempat karena ia harus pergi ke bandara di pagi harinya. Ibuku mengambil pesan yang Rena tulis. Aku membacanya.

Rik, gue sangat berterima kasih sama lo. Gue merasa punya utang budi sama lo. Gue berharap lo baik-baik aja Rik. Tadi gue ketiduran nungguin lo bangun. Tapi keadaan berubah Rik, gue harus tetap berangkat kesana. Keluarga gue yang ada disini beberapa hari akan nge jenguk lo, gue yang kesana duluan. Gue janji, nanti kita akan nguasain dunia bareng lagi kayak dulu. Hehehe. Semoga lu sehat selalu dan cepat sembuh:) You’re the real my hero!!

-Rn-

Itu adalah waktu dimana pertama dan terakhir kali senyumku melebar.

Selang beberapa waktu setelah itu, berita dikejutkan bahwa rute pesawat yang dinaiki Rena terjatuh.

Ya, aku tidak mendengar kabarnya lagi. Aku menerima semua yang membuatku terpukul.

Sekarang, aku bisa menyatakan bahwa aku dan Rena memang tidak bisa bersatu. Kami sahabat. Kami sepasang sepatu. Ketika salah seorang sahabat mau mengulurkan talinya untuk diikat bersama di hidup orang lain, sayangnya kami tidak bisa. Perasaan yang datang di ‘salah satunya’, tidak bisa menyatakan bahwa ia bisa memiliki orang lain yang dituju secara sepihak. Semua memiliki perannya, jika semesta mengizinkan.

Komentar

Posting Komentar